Info Terkait

    Keluarga

    Kamis, 07 Maret 2013

    Perang Media' Ancam Demokrasi 2014


    INILAH.COM, Jakarta - Pemilu 2004 dan 2009 disebut sebagai Pemilu yang diwarnai 'Perang Bintang'. Yang dimaksudkan adalah hadirnya sejumlah bekas petinggi militer berbintang satu sampai empat, dalam persaingan kursi di parlemen maupun posisi RI-1. Lalu bagaimana dengan Pemilu 2014?
    Sejak Pemilu 2004, sejumlah jenderal pensiunan bebas memilih menjadi calon anggota parlemen mewakili partai yang berbeda. Di era Orde Baru, mereka hanya boleh ke Golkar. Sejak reformasi bergulir, mereka menyebar ke semua partai politik yang ada. Mereka seperti terpecah bahkan terkesan berhadap-hadapan.Headline
    Dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2004 misalnya terdapat pensiunan jenderal tiga bintang Prabowo Subianto dan jenderal empat bintang Wiranto bersaing dalam Konvensi Partai Golkar. Keluar sebagai pemenang, Wiranto, bekas Panglima TNI sementara Prabowo sebagai mantan Pangkostrad, hanya menduduki posisi kelima di bawah Surya Paloh, Aburizal Bakrie dan Akbar Tanjung.

    Dalam Pilpres 2004, Wiranto sebagai wakil Golkar kemudian berpasangan dengan Solahudin Wahid, adiknya Gus Dur. Di pesta demokrasi itu Wiranto kemudian bertarung dengan jenderal tiga bintang, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Kedua jenderal ini juga disaingi oleh jenderal pensiunan tiga bintang, Agum Gumelar. Agum menjadi cawapresnya Hamzah Haz. Jenderal SBY keluar sebagai pemenang.
    Tidak heran setelah itu, Pilpres 2004 diparodikan sebagai Pemilu 'Perang Bintang'. Perang Bintang seakan memang nyata. Sebab kubu SBY-Jusuf Kalla, dikenal memiliki tim sukses yang mayoritas anggotanya berpangkat jenderal. Mereka berasal dari semua matra: darat, laut dan udara. Jadi ada yang berpangkat jenderal TNI, Laksamana TNI dan Marsekal TNI.
    Seusai Pilpres 2004, dua jenderal yang gagal menyaingi SBY, kemudian membentuk partai baru. Wiranto dan Probowo yang tadinya anggota Golkar, membuat kendaraan politik baru: Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
    Pembentukan dua partai baru oleh dua jenderal pensiunan ini, membuat 'Perang Bintang' terus hidup hingga di Pilpres 2009. Dari tiga pasang calon persiden dan wakil presiden, semuanya diisi oleh satu jenderal.
    Jenderal SBY yang mendirikan Partai Demokrat berpasangan dengan Boediono, seorang biroktrat sipil. Jenderal Prabowo yang sudah mendirikan Gerindra menjadi calon wakil presidennya Megawati Soekarnoputri (PDI-P). Sementara jenderal Wiranto (Hanura) menjadi cawapresnya Jusuf Kalla, mantan Wapres dan eks Ketua Umum DPP Golkar.
    Selain tiga jenderal di atas, menjelang Pemilu Legislatif April 2009, sebenarnya masih ada jenderal pensiunan lain yang ikut mengadu nasib menjadi pimpinan nasional. Yaitu Jenderal Sutiyoso, mantan Gubernur DKI.
    Sutiyoso sempat mendeklarasikan pencalonannya. Ia bahkan meresmikan markas tim suksesnya di bekas rumah kediaman pribadi almarhum Letnan Jenderal purnawirawan, Alamsyah Ratu Prawiranegara, di Jl. Diponegoro, Jakarta.
    Hanya saja, Sutiyoso tidak melanjutkan pencalonannya. Namun apa yang dilakukannya, tidak berbeda banyak dengan yang dilakukan SBY, bekas anak buahnya di Kodam V/Jaya. Sutiyoso juga membentuk tim sukses, dengan merekrut sejumlah jenderal pensiunan untuk menjadi tim pendukungnya. Di antaranya Jenderal Syahrir, mantan Pangkostrad. Juga ada jenderal Benny Mandalika, mantan Dubes RI untuk Papua Nugini.
    'Perang Bintang' dalam Pemilu memang hanya sebuah parodi. Sekadar menggambarkan kepada publik, betapa para bekas petinggi militer kita masih tetap ingin berkuasa. Inti pesan parodi itu adalah sekalipun sejak 1999, rakyat sipil harus tetap waspada atas kemungkinan kembalinya rezim militer.
    Paradigma politik Indonesia sudah berubah dari rezim militer ke pemerintahan sipil, dan para jenderal itu tahu tentang perubahan itu. Tetapi perubahan itu tidak mengubah obsesi para jenderal untuk tetap berada di puncak kekuasaan.
    Hanya saja, di balik obsesi itu, sikap para jenderal itu tetap perlu diapresiasi. Sebab mereka tetap berusaha menjadi pahlawan demokrasi. Mereka tidak mendorong sebuah aksi kudeta atas kekuasaan yang pro sipil. 'Perang Bintang' itu sendiri tidak pernah menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia.
    Yang kini perlu diantisispasi sekaligus dikhawatirkan, adalah kemungkinan terjadinya 'Perang Media'. Perang pembentukan opini yang dilakukan para pemilik media. Secara kebetulan atau memang sesuai dengan desain politik, sejumlah pimpinan partai memperkuat protofolio mereka dengan cara mendirikan atau menguasai media massa.
    'Perang Media' ataupun perang informasi ini dikuatirkan lebih memiliki magnitude politik yang lebih kuat. Sebab kalau 'Perang Bintang' lebih bersifat 'bayang-bayang' fatamorgana, 'Perang Media' justru sesuatu yang sangat nyata.
    Pemilu 2014 belum dimulai, genderang perang sudah ditabukan oleh berbagai kemasan paket informasi. 'Perang Informasi' itu juga hadir di saat yang tepat, di zaman informasi, era di mana sepanjang hari, setiap detik, informasi apa saja bisa dihadirkan oleh media.
    Pemilu 2014 yang akan terdiri atas Pemilu Legislatif (April) dan Pemilu Presiden (Juli) diperkirakan akan diwarnai oleh perang pembentukan opini antar media. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang, bukan itu yang akan menjadi topik utama. Tapi bagaimana dampak destruktif yang ditimbulkannya terhadap sistem demokrasi kita.
    Media-media utama (mainstream) bakal menggiring publik untuk bersimpati dan berempati kepada sebuah partai atau seorang kandidat Presiden. Yang menjadi sutradara dari penggiringan itu, bukanlah para pemimpin redaksi atau wartawan profesional, melainkan para pemilik yang memiliki status ganda: pemilik dan pemimpin partai.
    Terbuka kemungkinan, media menjadi partisan selama Pemilu 2014. Kebijaksanaan redaksional dalam peliputan Pemilu, ditentukan si pemilik media yang nota bene pimpinan partai politik peserta Pemilu.
    Setidaknya ada empat dari 10 partai politik peserta Pemilu 2014 yang memiliki media. Mereka adalah Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Hanura dan tentu saja Partai Demokrat. Partai Golkar selain punya media resmi harian "Suara Karya", Ketua Umumnya, Aburizal Bakrie dikenal sebagai pemilik "TVOne", "Anteve" dan "vivanews.com".
    Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh merupakan pemilik "Metro" (televisi), "Media Indonesia" dan "Lampung Post" (suratkabar). Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Partai Hanura, Hary Tanoe, memiliki sejumlah media seperti "RCTI" (tv), "Seputar Indonesia" (suratkabar), "Trust" (majalah) dan "Sindo Radio" atau eks Trijaya FM. Semuanya tergabung dalam konglomerasi media MNC Group.
    Sementara Partai Demokrat memiliki harian "Jurnal Nasional". Partai ini pun bila mau menggunakan jalur kekuasaan formal, masih bisa memanfaatkan media-media milik pemerintah seperti TVRI dan RRI, kemudian kantor berita nasional "Antara".
    Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana mencegah terjadinya 'Perang Media' dalam arti yang sebenarnya. Pencegahan tidak bisa dilakukan oleh satu komponen. Tetapi semua pihak yang terlibat dan terkait.
    Pihak pertama yang harus berperan adalah para wartawan dan organisasi profesi korps jurnalis itu sendiri. Wartawan harus diingatkan bahwa profesi wartawan merupakan sebuah perpaduan antara profesionalisme dan idealisme.
    Profesionalisme tidak bisa tunduk pada tekanan dari siapapun, apalagi idealisme. Yang terakhir ini mirip dengan agama atau keyakinan. Kalau kita yakin pada pekerjaan yang kita kerjakan, niscaya tak satu kekuatan manapun yang dapat menggoyahkan kepribadian kita.
    Jika semua sadar, maka 'Perang Media' di tahun 2014, tak akan terjadi dan Demokrasi yang sudah berhasil diperjuangkan, akan tetap terjaga kelestariannya

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar