"Saat ini, kami sedang persiapkan semuanya. Prosesnya terus berjalan. Kami targetkan tahun ini semua masterplan itu sudah selesai," ujar Dirjen Pengembangan dan Perwilayahan Industri Kemenperin Dedi Mulyadi di Jakarta, (24/5).
Sesuai rencana awal pemerintah, Siak di Provinsi Riau akan dijadikan kawasan industri penunjang minyak dan gas, Boyolali (Jawa Tengah) untuk industri tekstil kering (garmen), Sei Bamban (Sumut) untuk hilirisasi produk karet, serta Bangka (Bangka Belitung) akan dijadikan kawasan industri berbasis timah.
Selain itu, ada Majalengka di Jawa Barat yang dirancang menjadi kawasan industri tekstil dan produk tekstil (TPT), Gresik (Jawa Timur) untuk industri petrokimia berbasis gas, Bintuni-Tangguh (Papua) untuk industri petrokimia berbasis gas, Buli (Halmahera) untuk industri feronikel, serta Kulonprogo (Yogyakarta) untuk menjadi kawasan industri besi dan baja.
Dedi mengklaim, semua rencana pengembangan sembilan kawasan industri dilakukan dengan pendekatan perwilayahan. Hal tersebut untuk memacu percepatan industrialisasi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Dia juga menyampaikan, jika terjadi penolakan oleh masyarakat setempat, biasanya karena kawasan industri tidak dilengkapi dengan fasilitas pusat pelatihan dan inovasi yang bisa memberdayakan masyarakat di sekitarnya. "Pendekatannya adalah pengelolaan kawasan yang berbasis bisnis terintegrasi, sehingga industri yang masuk berdaya saing," imbuh dia.
Boyolali dan Majalengka
Khusus untuk kawasan industri Boyolali, Kemenperin akan merampungkan masterplan lengkap dengan detain engineering design (DED) dan rencana analisa dampak lingkungannya (amdal). Lahan potensial yang bisa dimanfaatkan untuk kawasan industri ini berkisar 272-300 hektare (ha).
Kawasan industri Boyolali dirancang untuk industri berbasis TPT terintegrasi, termasuk dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai dan fasilitas pusat pelatihan dan inovasi. Jika sudah jadi, kawasan ini diproyeksikan bisa menciptakan lapangan kerja baru bagi sekitar 30 ribu orang. Kawasan ini difokuskan untuk industri tekstil kering (garmen) karena keterbatasan air.
Beberapa perusahaan TPT sudah membidik lahan di lokasi kawasan tersebut, terutama yang berasal dari kawasan Jabodetabek, karena ingin merelokasi pabriknya. Hal tersebut akan dilalukan menyusul banjir yang terus melanda Bandung Selatan dan tingginya kenaikan upah tenaga kerja di Jabodetabek.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman membenarkan, Boyolali dan Majalengka sangat sesuai untuk dijadikan kawasan industri TPT. Apalagi, saat ini industri TPT di Boyolali masih sporadis, dan belum dalam satu kawasan terintegrasi.
Sejumlah investor asal Korea Selatan juga sudah meninjau ke Boyolali dan menyusul dari Tiongkok, setelah berkunjung ke Majalengka. "Kedua lokasi itu masih disiapkan dan masih distudi. Nanti, kalau sudah terpakai lebih 50 ha, dua kawasan itu baru di-declare sebagai kawasan industri," imbuh Ade.
Saat ini, perusahaan tekstil PT Pan Brothers Tbk sudah melakukan peletakan batu pertama (ground breaking) pembangunan pabrik di Boyolali. Luas lahannya mencapai 20 ha, tapi yang dimanfaatkan baru sekitar 10 ha.
Siak
Menurut Dedi, untuk kawasan industri di Siak, ada lahan seluas 1.500 ha yang berpotensi digarap. Rencana pengembangan kawasan yang dirancang untuk industri penunjang migas merupakan usulan dari pemda setempat.
Pengembangan industri penunjang migas mempertimbangkan keberadaan empat perusahaan migas di lokasi tersebut, yakni PT Bumi Siak Pusako (BUMD), Petro Selat Ltd, PT Chevron Pacific Indonesia, dan Kundor Petroleum SA. "Potensi lahannya bisa mencapai 5 ribu ha. Dengan keberadaan kawasan itu, industri migas di sana diharapkan lebih efisien," kata dia.
Saat ini, Kemenperin tengah menawarkan kepada investor rencana pembangunan pelabuhan dengan kedalaman sekitar 14 meter, yang bisa untuk berlabuh kapal berkapasitas 30 ribu dead weight tonnes (DWT). Lahan yang sudah disediakan 100 ha, yang merupakan milik pemda dan sudah tersedia jalan dari lokasi kawasan ke kota.
Sei Mangkei
Sementara itu, pengembangan kawasan industri berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Sei Mangkei, Sumatera Utara, masih menghadapi kendala, karena belum dialihkannya izin hak guna usaha (HGU) menjadi hak pengelolaan lahan (HPL). Izin HGU yang berlaku saat ini kurang menarik bagi investor baru.
Di sisi lain, untuk mendukung kawasan itu, pemerintah segera membangun Politeknik untuk jurusan kimia berbasis CPO. Anggarannya sekitar Rp 50 miliar oleh Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud. "Dari Kemenperin, kami akan membangun pusat inovasi Rp 40 miliar," imbuh Dedi.
Sumber : Kemenperin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar