Info Terkait

    Keluarga

    Sabtu, 09 November 2013

    Kisruh Lelang Proyek Relokasi Ibu Kota Boyolali

    Berikut ini BBK (Berita Boyolali Kita) ambilkan berita dari solopos beserta linknya sesuai dengan aslinya mengenai Kisruh Lelang Proyek Relokasi Ibu Kota Boyolali


    Pattiro: Penggelembungan Nilai Proyek Sudah Biasa

    Solopos.com, BOYOLALI — Lagi, dugaan penyimpangan dalam relokasi ibu kota Kabupaten Boyolali menyeruak. Aktivis Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Solo, Alif Basuki, meminta aparat penegak hukum proaktif dalam menyikapi dugaan penyimpangan proyek relokasi kantor Pemeirntah Kabupaten (Pemkab) Boyolali.
    Menurut Alif, dugaan kasus tersebut sudah pernah dilaporkan oleh masyaratakat ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah di Kota Semarang beberapa waktu lalu. ”Sejak awal proyek ini sudah bermasalah. Mestinya, aparat penegak hukum lebih proakti,” ujar Alif kepadaSolopos.com akhir pekan lalu.
    Pihak-pihak yang menurut Alif harus bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan proyek itu adalah kepala daerah atau bupati serta kepala dinas terkait selaku pengguna anggaran. ”Di sana istilahnya ada timbal balik jasa. Ini yang harus diusut aparat karena termasuk suap,” papar Alif.
    Direktur Pusat Kajian Pencerahan Politik Indonesia (PKP2I) Boyolali, Thontowi Jauhari, mengatakan DPRD Boyolali mestinya lekas meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi atas proyek senilai ratusan miliar rupiah itu.
    Menurut Thontowi, bukti-bukti terkait kejanggalan proyek itu hanya bisa diungkap dan ditemukan melalui audit investigasi, mulai dari proses lelang hingga proses pembangunannya.

    ”Bukti-bukti secara tertulis pasti susah didapatkan. Kejahatan itu dilakukan secara rapi, tak ada hitam di atas putih, serta semua sudah melalui kompromi di awal,” ujar mantan anggota DPRD Boyolali dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
    Meski demikian, menurut Thontowi dan Alif, aroma penyimpangan proyek dengan modus kolusi sudah tercium sangat kuat sejak awal. Salah satunya dilihat dari kecilnya selisih penawaran pemenang lelang dengan harga perkiraan sendiri (HPS).
    Thontowi mengatakan berani memastikan bahwa penyusunan HPS atas semua proyek relokasi terjadi mark up. “Itu sudah bukan rahasia lagi dalam dunia pengadaan barang/jasa. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum bersikap,” kata Thontowi.

    Lelang Proyek Relokasi Ibu Kota Boyolali Dianggap Sandiwara

    Solopos.com, BOYOLALI — Relokasi ibu kota Kabupaten Boyolali dari Kecamatan Boyolali Kota ke Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo sudah bermasalah sejak awal pelaksanaan, 3 tahun lalu. Mulai dugaan pemalsuan tanda tangan hingga dugaan korupsipembangunan gedung. Kini, terungkap kembali masalah lain dalam proyek pembangunan perkantoran terpadu di ibu kota baru kabupaten itu.
    Harian Umum Solopos, Senin (4/11/2013) lalu, mengungkapkan indikasi adanya “sandiwara” dalam lelang proyek pembangunan perkantoran di ibu kota baru Kabupaten Boyolali itu. Rekanan yang menawar dengan harga tinggi dikalahkan oleh rekanan yang menawar lebih rendah.
    Sangat nyata, karena ada kontraktor yang telah mengunggah semua persyaratan di website electronic procurement (e-proc) fasilitas yang disediakan untuk lelang online, tetapi semua syarat kemudian terhapus. Alhasil, kontraktor itu pun gugur dalam lelang.
    Indikasi adanya kecurangan dalam lelang proyek pembangunan kompleks perkantoran baru Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali yang dilaksanakan tiga tahun terakhir itu diendus sejumlah kalangan, termasuk DPRD Boyolali.”Bayangkan, rekanan yang menawar harga tinggi dimenangkan. Rekanan yang menawar lebih rendah malah dikalahkan. Ini lelang macam apa?” kata Fuadi, Wakil Ketua DPRD Boyolali, ketika ditemui Solopos.com, Kamis (31/10/2013).
    Solopos.com mencoba menelusuri rekam jejak lelang megaproyek itu. Berbekal salinan dokumen dan kesaksian sejumlah kontraktor,Solopos.com menemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada praktik kolusi. Inilah yang oleh beberapa kalangan disebut ”sandiwara”.
    Salah satunya terlihat dalam selisih harga perkiraan sendiri (HPS) dengan penawaran pemenang kontrak yang sangat kecil. Rata-rata penawaran kontrak hanya berkisar 1% dari HPS. Bahkan, dalam proyek pembangunan gedung Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), pemenang lelang hanya menawar 0,38% di bawah HPS.
    Menurut sejumlah sumber Solopos.com yang memahami proyek kontruksi, penyusunan HPS yang jujur dan akuntabel mestinya memperhitungkan keuntungan bagi kontraktor di luar harga barang. Selain itu, harga barang/jasa dalam HPS dihitung berdasarkan harga satuan di pasaran, bukan harga grosir, bukan harga pembelian dalam jumlah besar. Dengan rumus demikian, selisih ideal antara HPS dengan penawaran mestinya 10%-15%.
    ”Bagi kontraktor yang jujur, mereka masih untung 15%-20%, meskipun selisih penawaran dengan HPS 10%-15%,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Heru Agustanto.
    Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara tegas menyebutkan tujuan utama e-proc ialah memperbaiki tingkat efisiensi. Efisiensi ini, kata Wakil Ketua DPRD Boyolali Turisti Hindriya, bukan saja pada pengadaannya, melainkan juga pada belanjanya.
    “Faktanya, anggaran yang mestinya bisa dihemat justru dibuat bancakan dalam lelang [yang menurut saya] penuh kolusi itu,” ujar Turisti.
    Kejanggalan ini tak terlepas dari trik para rekanan dalam mengajukan harga penawaran yang dibikin nyaris sama. Indikasi ini salah satunya muncul dalam proyek pembangunan gedung Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) Boyolali senilai Rp3,9 miliar.
    Dalam proyek ini, selisih penawaran yang diajukan pemenang lelang dengan kontraktor cadangan terindikasi direkayasa lantaran hanya bertaut sekitar Rp8 juta. Kejanggalan lainnya yang layak disoroti ialah jumlah rekanan pemenang lelang yang bisa dihitung dengan jari. Itu pun alamat mereka berada dalam satu kawasan.
    Hal ini melahirkan kelompok kontraktor yang saling bersengkongkol. Satu rekanan yang telah memenangi proyek bisa kembali memenangi proyek di area yang sama. Proyek gedung BPMP2T dan Pendapa Kabupaten Boyolali salah satu indikasinya. Kedua proyek ini dimenangi satu kontraktor yang beralamat di Kecamatan Teras, Boyolali.
    Praktik “kanibalisme” antarkontraktor juga merebak. Berdasar kesaksian sejumlah kontraktor, puluhan peserta lelang sengaja ”digagalkan” oleh orang tertentu melalui sistem e-proc. ”Ini cara kasar yang sering terjadi. Rekanan merasa sudah mengunggah semua persyaratan, namun diwebsite dihapus. Akhirnya mereka dinyatakan gugur,” ujar seorang kontraktor yang minta agar identitasnya tak dipaparkan.

    Uang Negara Rp6 Miliar Jadi Bancakan


    Solopos.com, BOYOLALI — Harian Umum Solopos, Senin (4/11/2013) lalu, mengungkapkan indikasi adanya “sandiwara” dalam lelang proyek pembangunan perkantoran di ibu kota baru Kabupaten Boyolali. Relokasi gedung-gedung perkantoran di ibu kota baru Kabupaten Boyolali dari Kecamatan Boyolali Kota ke Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo sudah bermasalah sejak awal pelaksanaan, 3 tahun lalu.
    Kini, terungkap kembali masalah lain dalam proyek pembangunan perkantoran terpadu di ibu kota baru kabupaten itu. Minimnya selisih penawaran pemenang lelang dengan harga perkiraan sendiri (HPS) dianggap menjadi biang keladi membengkaknya anggaran proyek relokasi kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali.
    Anggota DPRD Boyolali yang juga mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Boyolali, Amin Wahyudi, menjelaskan rencana awal proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali sebenarnya hanya Rp90 miliar.
    Anggaran itu terbagi dalam tiga tahun penganggaran, yakni 2011-2013. Namun, dalam perjalanannya—setelah terjadi negosiasi politik—anggaran dinaikkan menjadi Rp140 miliar.
    ”Nah, sekarang Bupati Boyolali minta lagi Rp55 miliar. Padahal, anggaran yang dikucurkan sudah melampaui Rp140 miliar,” ujar dia ketika ditemui Espos akhir pekan lalu.
    Amin mempertanyakan kembali komitmen Bupati Boyolali Seno Samodro yang sejak awal menegaskan bahwa relokasi kantor Pemkab Boyolali tak akan membebani anggaran daerah.
    Faktanya, menurut Amin, saat ini eksekutif masih terus mengajukan anggaran hingga 2014. Padahal, gedung-gedung Pemkab Boyolali dan sarana serta prasarananya masih belum sepenuhnya jadi.
    ”Kalau proyek ini dilanjutkan lagi, bakal ada Rp300 miliar tersedot semua. Dan keuangan daerah bakal bangkrut. DPRD harus menyelamatkannya,” kata dia.
    Wakil Ketua DPRD Boyolali, Fuadi, memprediksi ada uang miliaran rupiah yang lenyap karena lelang proyek yang berbau kolusi. Menurut dia, jika lelang proyek dilakukan secara fair dan terbuka, sedikitnya 10% dari total anggaran proyek bisa dihemat.
    ”Ambil selisih paling rendah saja, misalnya 10% dari HPS. Jika pagu anggaran proyek sudah menembus Rp140 miliar, berapa miliar uang yang bisa dikembalikan untuk program yang berkaitan dengan kepentingan rakyat Boyolali?” ujar Fuadi.
    Dalam salinan dokumen yang diperoleh Espos hanya terdaftar 12 proyek pembangunan kantor Pemkab Boyolali di Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo. Dari 12 proyek gedung tersebut, nilai proyeknya Rp68,8 miliar.
    Semua harga penawaran pemenang lelang hanya berselisih pada kisaran 1% dari HPS. Bahkan ada yang di bawahnya lagi. Dengan asumsi selisih penawaran ideal 10% dari HPS, sedikitnya sudah ada uang sekitar Rp6 miliar yang bisa dihemat untuk kepentingan publik. Nasi telanjur menjadi bubur. Uang Rp6 miliar itu tak jadi dibelanjakan untuk kepentingan rakyat Boyolali.

    1 komentar:

    1. Hmmmmm Menarik sekali,,
      Begitulah para elit setelah terpilih,,

      Mari Hijaukan Bumi Kita

      Kami suplier Rumput Gajah Mini, Rumput Jepang dan tanaman lain untuk kebutuhan taman anda seperti aneka palem, pule, soka india, aneka kamboja, dll.
      Kami juga melayani jasa pembuatan taman untuk wilayah Jawa Tengah

      Hubungi kami klik http://rumputjepang-gajahminimurah.blogspot.com/

      Arya Flower
      0813 1030 7553

      BalasHapus