Info Terkait

    Keluarga

    Minggu, 22 Maret 2015

    3 Amal Paling Berat Menurut Imam Syafi’i

    Ada amal-amal tertentu yang lebih berat dibandingkan dengan amal lainnya. Karena melakukannya berat, insya Allah timbangannya di akhirat juga berat.
    Diantara amal-amal yang berat, amal apa yang paling berat? Berikut ini 3 amal yang paling berat menurut Imam Syafi’i.
    “Amal yang paling berat ada tiga,” kata Imam Syafi’i seperti dikutip Syaikh Tariq Suwaidan dalam Silsilah al-Aimmah al-Mushawwarah, “murah hati saat miskin, wara’ saat sendiri, dan mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti.”

    1. Murah hati saat miskin

    Infaq adalah amal yang berat. Sebab pada umumnya, manusia cinta dunia. Ia bekerja keras untuk mencari harta, senang ketika mendapatkan banyak harta, dan cenderung pelit untuk mengeluarkannya. Karenanya diantara ciri orang yang bertaqwa adalah wa mimma raaqnahum yunfiquun: menginfakkan sebagian harta yang direzekikan kepadanya.
    Lebih dari itu, dalam surat Ali Imran ayat 134 disebutkan bahwa di antara ciri orang yang bertaqwa adalah berinfaq baik di waktu lapang maupun di waktu sempit

    الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

    Berinfaq saat lapang mungkin agak ringan. Tetapi berinfaq di saat sempit? Jauh lebih berat. Dermawan saat dompet tebal mungkin agak ringan. Tetapi dermawan saat dompet tipis? Jauh lebih berat. Murah hati saat kaya mungkin agak ringan. Tetapi murah hati saat miskin? Jauh lebih berat.

    Hanya orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah yang sanggup menjalankan amal yang paling berat ini. Rasulullah adalah teladan utama, beliau dermawan di saat lapang maupun di saat sempit. Beliau murah hati di saat mendapati banyak harta, beliau juga murah hati di saat kebutuhan konsumsinya sendiri bahkan belum tersedia.
    Dari banyak hadits kita mengetahui betapa Rasulullah sangat dermawan. Beliau adalah orang yang memiliki banyak harta dari ghanimah, tetapi harta itu tidak pernah beliau miliki. Begitu dapat langsung disedekahkan. Bahkan pernah beliau mempercepat shalat karena ingin harta yang baru saja diserahkan kepada beliau segera dibagikan kepada fakir miskin.
    Para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga demikian. Mereka adalah generasi yang mampu mengikuti jejak Nabi; berinfaq di kala lapang maupun sempit. Mobilisasi infaq menjelang Perang Tabuk menjadi saksi. Ada yang kaya seperti Umar menginfakkan separuh hartanya. Ada yang kaya seperti Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Tapi ada juga sahabat yang miskin, tetap berinfak sesuai kemampuan mereka meskipun hanya setengah sha’ kurma.
    Betapa para sahabat mampu murah hati saat miskin hingga abadilah kisah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim yang menjamu tamu dalam kegelapan. Sebab mereka berdua tak ingin tamu itu tahu bahwa makanan yang dihidangkan hanya cukup untuknya. Sementara mereka merelakan diri dan anaknya menahan lapar di malam itu.
    Betapa para sahabat mampu murah hati saat miskin hingga abadilah kisah Ali dan Fatimah yang tidak menemukan menu apapun untuk tiga hari puasa kecuali air karena menjelang berbuka selalu ada peminta-minta dan mereka berdua memberikan makanan jatah berbuka untuknya.
    Imam Syafi’i sendiri juga mampu meneladani Rasulullah dalam menjalankan amal yang paling berat ini. Kendati beliau kehabisan bekal, beliau segera menginfakkan harta yang baru diterimanya kepada orang-orang yang membutuhkan.

    Ada amal-amal tertentu yang lebih berat dibandingkan dengan amal lainnya. Karena melakukannya berat, insya Allah timbangannya di akhirat juga berat. Menurut Imam Syafi’i rahimahullah, ada tiga amal yang paling berat.
    “Amal yang paling berat ada tiga,” kata Imam Syafi’i seperti dikutip Syaikh Tariq Suwaidan dalam Silsilah al-Aimmah al-Mushawwarah, “murah hati saat miskin, wara’ saat sendiri, dan mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti.”
    Setelah membahas poin pertama, murah hati saat miskin, berikut ini amal yang kedua yakni wara’ saat sendiri.

    2. Wara’ saat sendiri

    Wara’ secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sikap meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat. Secara lebih mendalam, wara’ bukan hanya meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat tetapi juga meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat serta hal-hal mubah yang berlebihan. Persis sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

    مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

    ”Diantara tanda kebaikan (kesempurnaan) Islam seseorang, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi)
    Meninggakan hal-hal yang haram adalah amal yang berat bagi banyak orang. Karenanya kita lihat ada orang-orang yang suka minum-minuman keras, berjudi, berzina dan sebagainya. Bahkan di antara mereka, ada yang melakukannya secara terang-terangan di depan banyak orang.
    Meninggalkan hal-hal yang haram saat sendirian tentu lebih berat lagi. Karenanya ada orang yang kelihatan baik ketika di depan publik, tetapi diam-diam ia melakukan korupsi. Ada orang yang tampak mulia tetapi ia bermaksiat dalam kesendiriannya. Sungguh sangat tepat nasehat Bilal Sa’ad rahimahullah. Tabi’in yang wafat di Syam ini mengatakan,

    لَا تَكُنْ وَلِيًّا لِلَّهِ تَعَالَى فِي العَلَانِيَةِ وَ عَدُوَّهُ فِي السِّرِّ

    “Janganlah engkau (tampak) menjadi wali Allah Ta’ala di tengah keramaian, tetapi menjadi musuh-Nya ketika sendirian”
    Menjauhi syubhat lebih berat lagi. Hal yang masih samar hukumnya, apakah ini halal atau tercampur dengan hal yang haram, menjadi lebih berat untuk ditinggalkan. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang mampu mempraktikkan wara’ dengan sempurna. Suatu hari ketika ia mendapat makanan dari seorang sahabat, ia memakannya. Setelah ingat, barulah ia bertanya dari mana makanan itu. Begitu sahabat tadi memberi tahu bahwa makanan tersebut pemberian orang yang dulu pernah diruqyahnya di masa jahiliyah, Abu Bakar langsung memasukkan jari-jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makanan yang telah masuk ke perutnya. Sementara di zaman kita, seakan hilang kepedulian untuk bertanya uang ini dari mana, harta ini dari mana, makanan ini dari mana.
    Apalagi menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat dan hal mubah yang berlebihan. Jauh lebih berat lagi. Sehingga tak salah jika Imam Syafi’i memasukkan wara’ saat sendiri merupakan salah satu amal yang paling berat. 

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar