Dibandingkan dengan karakter dan watak politik pemilih di provinsi lainnya di Pulau Jawa, konstituen di Jateng lebih berwatak konservatif. Dalam konteks demikian, partai berpaham Nasionalis seperti PDIP sangat diuntungkan.
![]() |
Ketua Partai Hanura Jateng, HM Supito dan penulis (ainur rohim) |
Kenapa? Karena PDIP memiliki paralelisme historis-politik dan kultural-politik dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI jadi kekuatan politik pemenang di Pemilu 1955, pemilu pertama setelah Indonesia merdeka. PNI menang di Jateng. PDIP sangat beruntung memiliki basis dukungan terkuat seperti Jateng.
Ahli antropologi Amerika Serikat yang lama melakukan kajian di Pare, Jatim, Clifford Geertz, menyebutkan, secara elektoral, basis pendukung terbesar PNI di Pemilu 1955 adalah kalangan Islam abangan. Mereka bisa berasal dari stratifikasi sosial priyayi (ningrat dan birokrat), wong cilik, dan komunitas Islam Kejawen. Sejak 1955, kekuatan Nasionalis di Jateng telah menguat kepada PNI, dan sekarang masyarakat Jateng merapat ke PDIP.
Watak konservatisme politik ini yang mengukuhkan dan mengokohkan positioning politik PDIP di peta politik Jateng sejak Pemilu 1955 sampai 2014. Sempat terjadi perubahan peta politik Jateng bersifat ekstrem, karena proses political engineering yang tak natural di bawah rezim Orde Baru Soeharto.
Namun demikian, ketika Soeharto dan pilar-pilar politik yang mendukungnya rontok, mapping politik Jateng kembali warna naturalnya: Nasionalis.
Apakah watak konservatisme politik Jateng bisa berubah? Ketika Pilpres 2004 lalu, yang menang di Jateng adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat, bukan Megawati Soekarnoputri. Dalam konteks ini, pengaruh figur jadi faktor penentu kemenangan pada pilpres saat itu. Jadi, tidak semata-mata pilihan politik, itulah fenomena politik Jateng yang berfsifat khas.
Belajar dari fakta sejarah di atas, watak konservatisme politik pemilih Jateng bukan tak bisa berubah. Perubahan politik itu bisa saja terjadi dan dilakukan sejauh ada figur fenomenal sebagai drivernya.
Ketua DPD Partai Hanura Jateng, HM Supito, menyadari memimpin Hanura di Jateng tantangannya begitu berat. "Jateng telah lama jadi kandang besar partai lain. Tapi, dengan kerja keras, saling membantu, dan bekerja sama, saya yakin suara Hanura bakal terdongkrak di Pemilu 2019 nanti," kata Supito.
"Pengurus Hanura di Jateng harus siap makan nasi, jangan hanya makan rumput. Saya sekarang ganti pakai peci (kopiah), bukan pakai tanduk lagi,” tambah Supito penuh makna. sebagaimana dicopas dari beritajatim.com
Kemampuan politik PNI yang diteruskan PDIP memenangkan tiap kontestasi politik di Jateng secara konsisten, seperti pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan gubernur (Pilgub), harusnya menjadi cambuk dan spirit bagi kompetitor politik selalu bekerja keras dalam menapaki kontestasi politik di Jateng. Hal itu penting, karena Jateng merupakan teritori kaum Nasionalis abangan yang belum terpatahkan hingga Pemilu 2014 lalu.
Secara realistis, meski PDIP masih kuat di Jateng, tapi itu bukan berarti Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PPP, PAN, PKS, dan partai lainnya tak mendapat tempat. Konservatisme pemilih di Jateng terbangun dan mengkristal karena sejak dulu, di era politik Indonesia modern, banyak tokoh politik yang aktif di pergerakan pada masa lalu lahir dan dibesarkan di Jateng.
Realitas ini mirip seperti Jatim yang jadi kelahiran NU, yang pilihan politiknya ke PKB, tapi tidak semua ke PKB. Sebab, ada juga yang ke PPP. Di Jatim, meski PDIP kuat, tapi dominasinya tak terlalu berlebihan dibandingkan dominasi PDIP di Jateng. Yang penting dicatat dan diperhatikan adalah kawasan Jateng pesisir afiliasi politiknya bisa ke PKB atau partai-partai Islam lain, seperti PPP dan PKS.
Fakta lain yang menunjukkan kuatnya watak politik pemilih Jateng dengan kekuatan politik Nasionalis abangan adalah bisa dilihat dari hasil pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu. Pasangan calon (paslon) yang diusung PDIP bersama partai- partai koalisinya mendominasi kemenangan di 21 kabupaten/kota di Jateng.
PDIP dan partai koalisinya menang di 14 daerah dari 21 daerah yang menggelar pilkada serentak. Partai ini menargetkan menang di 15 kabupaten/kota. Target yang lolos adalah pilkada Kabupaten Kendal.
PDIP merebut kemenangan di Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Grobogan, Wonogiri, Boyolali, Klaten, Purbalingga, Pekalongan, Pemalang, dan Sukoharjo.
"Jateng punya ciri yang lain. Semangat kebersamaan dan kerakyatan serta gotong-royong masih ada. Ini menjadi modal penting untuk membesarkan partai. Modal utama adalah kekompakan, partai harus kompak, dalam politik memang ada kepentingan, tapi harus ada toleransi dan sinergi antara kita. Masalah dan polemik internal partai harus dihapus, karena sampai saat ini Hanura merupakan partai yang tidak ada masalah, dan ini harus terus dijaga,” tegas Plh Ketua Umum Partai Hanura, Jenderal Pol Purn Chaeruddin Ismail.
Ketua Partai Hanura Jateng, Supito mengakui, menembus konservatisme politik pemilih di Jateng bukan perkara gampang. Dibutuhkan kerja keras, keuletan, dan strategi politik jitu membedah tantangan berat bersifat kultural-politik dan psiko- politik ini.
"Yang pasti semuanya pasti bisa berubah. Sebab, perubahan itu Sunnatullah. Di dunia ini yang tak bisa berubah hanya Al Qur'an dan Al Hadits. Kalau soal pilihan politik, insya Allah ada yang bisa berubah. Politik jangan sampai dibawa mati," ingat HM Supito, yang juga mantan bendahara DPD PDIP Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar